Sua


 "Asuh
  Acuh
  Bak pinang dibelah dua
  Serupa samar tak sama".
Pengembaraan di negeri setapak gaduh dimulai dari celetuk nadi yang hendak mengalirkan darah tualang ke seluruh sudut tubuh. Setahun menghampakan tinta, menggoreskannya ke dalam lembaran-lembaran buram tersusun rapi entah serangga pun enggan mengeripnya. Mula kisah diawali pertemuan dengan darah semenda, lama tak saling sapa membuat peluk tubuh mereka sangat hangat dibalik teriknya sang surya. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung,  sepatah kata yang wajib jadi prinsip bagi perantau yang sedang berkelana menggembala ilmu. Tapi, ia tak sepenuhnya menghalalkan itu! Dekat mencari indu, jauh mencari suku, yang baginya dimensi beda bahasa dan beda budaya sukar untuk dibaur dalam induk warna keberagaman yang mustahil untuk dilenyapkan.

Tak perlu hirau jika orang berbeda rasam melakukan penyimpangan di mukanya, toh halauan bakunya hanya untuk menontonkan eksistensi bak teluk dalam yang sangat pelik untuk dikalahkan. Ironi memang, lamun inilah sekarang wajah bumiputra. Bertopeng acuh di ambang rupa, berwajah angkuh tatkala kelirnya terbuka. Rasa acuh yang menjerumus ke rasa salah asuh. Hiruk-pikuk, hingar-bingar, dan ketidakpedulian diramu menjadi satu hingga tergubahlah sebuah formula dalam nama dekadensi peradaban. Suri tauladan nenek moyang yang harusnya tak lekang oleh zaman tak lapuk dalam hujan tergores oleh noda keengganan untuk peka terhadap lingkungan, kematian kekayaan akal budaya manusia ini hanya akan menunggu di lorong waktu ketidakpedulian yang tak terbatas dan entah kapan ajal tersebut menjemput atau malah tidak akan terjadi sama sekali.

Semua ini bukan hanya tergantung di tanganku, tanganmu, ataupun tangan mereka, tapi semua ini ada tergenggam di tangan kita.


di Negeri Setapak Gaduh, Maret 2019
05.55 p.m.


-R-

Komentar

Postingan populer dari blog ini